Friday, March 13, 2009

Sajak Sajak Fernando Marco

Perahu Cadik

Ayah pernah berkisah tentang
dua perahu yang saling mencinta
saat melaut terus bersama
tanpa layar,
tanpa kemudi,
asmara menjadi penunjuk arah
menuju sebuah tanah
tempat perahu dapat berlabuh

hati siapa yang tak luluh
melihat keduanya melaju
saling ikat menjadi satu
si jantan mengikat mawar
- tertanam di kepala
tanda merahnya
birahi sunyi
dengan temali

si betina mengikat duri
- sekuat pelaut mati
menghadang badai
tanda kepaduan perahu dan cadik

Padang, Februari 2009


Tembakau

gerak tanganmu tiada kaku
ketika asyik meracik candu
bersama seorang penangkap waktu
kau menggulung tembakau dulu
saat ingin mengantar aku
lewat asap tanda
usai melepas rindu
purna jua menjadi abu

malam juga mengutusmu
kala aku tiada selalu
mengikatmu dalam saku
dengan semerbak aroma itu
jasadmu tetap menebar rindu
walau tiada kata yang harus kupaku

terus menguap bara dalam genggam
menerobos kenang tentang kampung tempat kau dan aku
memulai semua rindu

Padang, Februari 2009


Mei

Sajadah ini jadi bukti
kita berasal dari satu bumi
yang moyang sebut itu pertiwi
tempat ia suka mandi-mandi
dari petang hingga pagi

Apa tidak kau kenali
bau amis di sumur kami
itulah genangan imaji
yang berisi caci maki

Tetap jangan sakiti kami
ayo ambil tangan ini
mari buat satu janji

kita berasal dari satu bumi

Padang, Januari 2009


Paris

Bagiku tanah ini neraka
tempat membuang duka kehilangan kekasih
yang mati tadi pagi

bersama tanah ini aku membakar diri
sambil melepas burung hitam
dari balik baju

Tempatnya seperti kau hidup dulu
masih sempit
minim kasih

Padang, 2008


Untuk Adik

bisu tetaplah bisu usai desau angin
kini tinggalah ingin bersama sejuta rindu
masih ada cara untuk menarik waktu
dari sumur hari yang kian dalam
kenapa kau gali?

sekali-kali pandangi diri yang masih hilang kasih
diam murung dalam sepi usah kau telan lara sendiri
ingat jalan kita masih ada rindu masih bukan milik langit
yang kian gantung hingga kau pergi entah kemana

Padang, Awal Januari 2009


Kereta Senja

kami masih menanti, senyap dan gigil
bersandar pada dinding gelap
tak tersentuh
harap akan satu tempat yang dalam pikir
pernah kesana, sambil mengeja rindu
riuh gaduh anak-anak subuh
mengejar mentari,
kami setia menjadi bayang
genangan peluh nan kering
usai upaya menafsir mimpi
tentang lupa desis,
tanda henti sebuah hari
untuk mengobati luka mengering,
seiring bara menguap menyusuri
lubang gelap kami terus menanti
rindu angin yang melayarkan
samudra menuju waktu, mengurung api
dalam diri, mengantar pagi
melesat mencium pelupuk senja.

Padang, Februari 2009

Tentang Penulis
Fernando Marco, lahir di Padang, 21 Juni 1988, saat ini
tercatat sebagai mahasiswa di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris,
Fakultas Adab, IAIN Imam Bonjol Padang.
Bergiat di sanggar Pelangi dan magang di kantor berita
padangmedia.com
(terbit Sabtu, 14 Maret 2009 di Harian Suara Karya)
         

1 comment:

IFTITA RAHMI said...

everything u ever seen.

u can get it when u fly with the sky above...

everything can we find there...

puisi adalah jalan bagi taurus...

(u can find many means in this comment!)